|
Dengan
modal awal Rp 1 juta, Masnu’ah mengawali kegiatan Puspita Bahari
sebagai koperasi beras. Mereka membeli beras untuk disalurkan kepada
keluarga nelayan dengan mengambil keuntungan Rp 200 per kilogram. Dalam
setahun koperasi itu meraih untung Rp 2 juta.
Kegiatan
koperasi mulai goyang pertengahan 2006 karena hasil tangkapan nelayan
tak menentu. Mereka kesulitan melaut dan ini membuat pembayaran
tersendat. Sebagian keluarga nelayan berutang beras, koperasi pun
mengalami kredit macet.
Kegagalan
usaha koperasi mendorong Masnu’ah mengupayakan pelatihan usaha bagi
perempuan nelayan dengan bantuan lembaga pendampingan usaha buruh tani
nelayan. Pelatihan itu di antaranya berupa pembuatan getuk lindri, es
krim, mi basah, dan tepung ikan.
Pelatihan
yang berjalan selama 2007-2009 itu kembali tersandung masalah. Produk
makanan buatan para istri nelayan tak laku di perkampungan nelayan
karena harganya dinilai mahal. Harga gorengan Rp 300 dan donat Rp 500,
misalnya, tak terjangkau keluarga nelayan yang miskin.
”Nelayan memilih makanan yang harganya murah, tapi isinya banyak. Makanan higienis bukan pilihan kami,” ujar Masnu’ah, yang juga istri nelayan.
Masnu’ah
tak putus asa. Dengan memanfaatkan sisa pendapatan hasil program
pelatihan sebelumnya, ia mengajak perempuan dan anak nelayan menekuni
usaha salon dan otomotif dengan binaan dari Koalisi Perempuan Indonesia
dan Lembaga Bantuan Hukum. Sayang usaha ini tak didukung keluarga
nelayan.
”Enak miyange (enakan melaut), ben neng omah wae (biar di rumah saja),” kata Masnu’ah, menirukan sejumlah alasan yang dilontarkan keluarga nelayan.
Produk olahan
Tahun
2009 Masnu’ah kembali mengajak perempuan di kampungnya membuat produk
olahan berbahan dasar ikan. Di desa itu, sebagian istri nelayan sudah
biasa membuat kerupuk untuk konsumsi sendiri. Lewat Puspita Bahari, ia
mengajak istri nelayan membuat produk olahan seperti kerupuk, keripik,
dan abon.
Keterbatasan ruang gerak istri nelayan menyebabkan pembuatan kerupuk dilakukan di rumah masing- masing. Ini membuat standar mutu kerupuk tak seragam. Produk mereka sulit diterima pasar.
Masnu’ah mengatasinya dengan mengadakan standar resep yang seragam. Bahan baku produk olahan mengandalkan ikan segar hasil tangkapan para suami. Modal yang terbatas disiasati dengan pemilihan bahan baku dari jenis-jenis ikan yang harganya relatif murah, seperti belida, tunul, kembung, dan tongkol. Pengolahan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
Keterbatasan ruang gerak istri nelayan menyebabkan pembuatan kerupuk dilakukan di rumah masing- masing. Ini membuat standar mutu kerupuk tak seragam. Produk mereka sulit diterima pasar.
Masnu’ah mengatasinya dengan mengadakan standar resep yang seragam. Bahan baku produk olahan mengandalkan ikan segar hasil tangkapan para suami. Modal yang terbatas disiasati dengan pemilihan bahan baku dari jenis-jenis ikan yang harganya relatif murah, seperti belida, tunul, kembung, dan tongkol. Pengolahan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
”Jenis ikan untuk bahan baku bisa berubah-ubah, sepanjang harga ikannya tak lebih dari Rp 5.000 per kilogram,” ujarnya.
Meski berbahan baku ikan yang berharga murah, Masnu’ah dan kelompoknya konsisten tak menggunakan ikan beku. Mereka khawatir produk ikan beku mengandung formalin atau pengawet.
Cuaca ekstrem perairan dan hasil tangkapan yang tak menentu menyebabkan usaha pengolahan ikan pun kerap kesulitan bahan baku. Untuk menyiasatinya, pada musim panen ikan mereka memproduksi kerupuk sebanyak-banyaknya sebagai stok untuk dijual saat paceklik bahan baku.
Kerupuk dipilih sebagai produk olahan utama karena daya tahannya bisa tiga bulan, lebih lama dibandingkan dengan keripik dan abon yang daya tahannya sekitar dua minggu. Pada musim panen, produksi kerupuk mereka mencapai 25 kilogram per hari, dengan harga jual sekitar Rp 5.000 per kilogram. Dari jumlah tersebut, kelompok ini mendapat keuntungan Rp 2.000 per kilogram.
Kerupuk itu dipasarkan di beberapa kantor pemerintahan, toko-toko, sampai warung-warung. Produksi Puspita Bahari juga dipasarkan ke Semarang, Jawa Tengah. Hasil pengolahan ikan itu membuat perempuan nelayan mendapat penghasilan tambahan.
Tak berhenti pada usaha pengolahan ikan, Puspita Bahari terjun mengelola sampah, memisahkan sampah organik dan non-organik, untuk mengurangi kekumuhan desa nelayan.
Kegigihan Masnu’ah menggiring Puspita Bahari mendapat penghargaan Kusala Swadaya pada Oktober 2011 sebagai kelompok perempuan nelayan yang berhasil mengatasi kekumuhan di perkampungan nelayan.
Puspita Bahari juga menjadi mediator bantuan tiga kapal untuk melaut dari Dompet Dhuafa yang disalurkan lewat LBH Layar Nusantara dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kapal itu untuk kelompok tambak Sidomaju, Paguyuban Nelayan, dan Yayasan Asasubilad.
Penolakan
Upaya mengangkat perekonomian keluarga nelayan bukan perkara mudah. Kemiskinan yang mendera keluarga nelayan cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal. Mereka tak percaya diri dan kurang gigih menjalankan usaha.
”Saya masih belajar. Tetapi, karena kondisi keterpurukan perempuan nelayan, saya mengajak mereka untuk aktif,” ujar Masnu’ah yang aktif dalam sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Keterpurukan perempuan nelayan itu, menurut Masnu’ah, tak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga saat mereka harus membuat keputusan. Beberapa dari mereka juga kerap menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Masnu’ah bercerita, ia pernah mendapat pengalaman pahit saat membimbing perempuan nelayan yang menjadi korban pemukulan oleh suami. Upaya pendampingan terhadap perempuan korban KDRT ke pengadilan menuai penolakan masyarakat. Ia dinilai terlalu ikut campur urusan rumah tangga.
Bagaimanapun, kelompok Puspita Bahari terus berjalan di tengah segala keterbatasan, termasuk akses pasar dan modal. Kondisi itu membuat mereka belum bisa berproduksi dalam skala besar.
”Semua usaha membutuhkan waktu. Pembinaan juga harus dimulai dengan penyadaran hak dan kewajiban perempuan. Saya yakin, perempuan nelayan suatu hari nanti bisa mandiri,” kata Masnu’ah.
Oleh BM Lukita Grahadyarin
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/01/18/02392416/kebangkitan.perempuan.di.kampung.nelayan
0 comments:
Post a Comment